Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak Di Tingkat Pengadilan dan Permasalahannya
Oleh : S.E.D. RESIMARAN.*
Memang harus diakui bahwa permasalahan di bidang hukum pidana terus berkembang dari saat ke saat dan tidak seimbang dengan perkembangan dari hukum pidana kita sendiri dalam bentuk perundang-undangan yang berlaku saat ini. Modus operandi yang dipergunakan oleh para pelaku kejahatan senantiasa selalu berkembang.
Berbagai permasalahan yang timbul harus ditangani secara serius dengan maksud untuk memulihkan keadaan dalam masyarakat seperti pada saat belum terjadinya suatu tindak pidana.
Pemahaman masyarakat Indonesia mengidentikkan penyelesaian permasalahan hukum dengan aparat penegaknya antara lain, polisi, jaksa dan hakim. Ketiganya merupakan bagian dari sistem peradilan pidana. Penyelesaian perkara pidana oleh oleh masyarakat ditempuh melalui sistem peradilan yang diatur KUHAP. Namun, akhir dari sistem peradilan tersebut seringkali belum tentu menjamin rasa keadilan dalam masyarakat. Masyarakat merasakan bahwa berat ringannya vonis yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa belum mewujudkan keseimbangan dan mengembalikan situasi sosial dalam masyarakat.
Penegakan Hukum, erat kaitannya dengan masyarakat, sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Carl von Savigny “Das recht wird gemacht est ist und wird mit dem volke” (hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Pada kenyataannya, hukum modern yang berkembang di Indonesia tidak berasal dari dalam masyarakat itu sendiri namun merupakan adopsi dari luar yang lebih banyak dari eropa.
Menurut Satjipto Rahardjo, penyelesaian perkara melalui sistem peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu penegakan hukum ke arah jalur lambat. Hal ini, karena penegakan hukum melalui berbagai tingkatan yaitu, kepolisian, kejaksaan, pengadilan yang dapat pula dibagi dalam 2 tingkat yaitu judex factie dan judex jurist.
Penyelesaian perkara pidana hendaknya lebih mengutamakan keseimbangan sosial dalam masyarakat. Keseimbangan yang dimaksud disini yaitu antara si korban dengan si pelaku.
Konsep keseimbangan ini sejalan dengan apa yang disebut dengan asas yang sangat dikenal sekarang dan coba diberlakukan diberbagai negara yaitu asas Restorative justice.
Konsep restorative justice sistem ini, sejalan pula dengan apa yang disampaikan oleh Satjipto Raharjo yang mana menurutnya, inti hukum progresif yaitu terletak pada bagaimana berpikir dan bertindak progresif yang membebaskannya dari belenggu teks dokumen hukum, karena pada akhirnya hukum itu bukan untuk teks hukum. Oleh karena itu, cara penyelesaian perkara pidana hendaknya tidak terpaku pada teks undang-undang. Tujuan yang hendak dicapai adalah bagaimana penyelesaian suatu perkara pidana dapat mengembalikan harmonisasi sosial yang seimbang antara pelaku, korban dan masyarakat. Keadilan dalam restorative justice mengharuskan adanya upaya memulihkan/mengembalikan kerugian atau akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dan pelaku dalam hal ini diberi kesempatan untuk dilibatkan dalam pemulihan tersebut, kesemuanya adalah bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan memelihara perdamaian yang adil.
Merujuk pada hal di atas, kemudian direspon dengan adanya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan kemudian dengan munculnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak.
Undang-undang ini, merupakan reformasi dalam sistem peradilan pidana. Hal ini karena terdapat penyelesaian yang lebih fleksibel dibandingkan sistem peradilan formal yang selama ini diterapkan. Dalam pasal 5 UU No. 11 Tahun 2012, ditentukan bahwa sistem peradilan anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restorative. Undang-undang ini juga memberikan kepastian hukum atas penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui DIVERSI . Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana.
Diversi bertujuan sebagai :
- mencapai perdamaian antara korban dan anak;
- menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
- menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan ;
- menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Proses diversi yang dimaksud undang-undang No. 11 Tahun 2012, dapat terjadi ditingkat penyidikan, penuntutan maupun ditingkat pemeriksaan di pengadilan. Dalam penyelesaian tindak pidana ditingkat pengadilan yang mana Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim dan dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Muncul permasalahan yaitu bagaimana jika proses diversi telah disepakati oleh kedua belah pihak namun pada akhirnya menimbulkan jalan buntu dengan pengertian salah satu pihak tidak memenuhi apa yang diperjanjikan seperti kasus dibawah ini.
KASUS POSISI :
Sepasang muda mudi yang menjalin hubungan (pacaran). Lelaki sebut saja JAKA (16 Tahun) dan BUNGA (samaran buat wanita 15 Tahun). Keduanya sebagai muda mudi yang berpacaran dan saling menyayangi antara satu dengan lainnya. Selama masa berpacaran, mereka sudah sering melakukan hubungan suami isteri hingga suatu saat BUNGA diketahui telah hamil 3 bulan. Pada saat perkara tersebut sampai di tingkat pengadilan, Hakim yang menangani perkara tersebut lalu melakukan apa yang dinamakan dengan DIVERSI yaitu suatu pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana. Hasil dari DIVERSI tersebut telah tercapai kesepakatan diantara kedua orang tua pihak yaitu BUNGA dan JAKA bahwa keduanya akan dinikahkan jika sudah menyelesaikan pendidikannya (sibunga menamatkan SMP dan Si JAKA menamatkan SMA).
Pada kenyataannya, setelah kedua anak tersebut menyelesaikan studi masing-masing, Pernikahan tidak pernah terjadi oleh karena orang tua si lelaki (JAKA) tidak memenuhi apa yang menjadi keputusan dalam Diversi dan lebih memilih mengirimkan anaknya (JAKA) untuk pergi menempuh pendidikan tinggi di luar daerah dan menikah dengan wanita lain sementara orang tua si BUNGA tetap bersikeras untuk dilangsungkan pernikahan.
Jika kita meneliti dengan seksama di dalam undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Peradilan Anak, sama sekali tidak mengatur tentang bagaimana jika Diversi di sidang pengadilan telah dicapai kesepakatan akan tetapi pada akhirnya salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, juga siapa yang akan mengawasi proses pelaksanaan dari diversi tersebut mengingat jangka waktu yang ditetapkan dalam kasus bunga itu, bisa mencapai 2 tahun baru bisa dilaksanakan pernikahan.
Undang-undang hanya mengisyaratkan bahwa jika telah dilakukan diversi akan tetapi gagal dalam pengertian tidak tercapai kata sepakat, perkara dilanjutkan ke tahap persidangan.
Mengenai hal ini, tidak dapat disangkal bahwa di Indonesia ini, tidak ada undang-undang yang sempurna atau lengkap. Pasti saja ada kekurangan atau kelemahannya. Secara umum dapat dikemukakan bahwa ada dua kelemahan pokok yang potensial terdapat dalam perundang-undangan. Pertama, dari segi perumusannya terkadang kurang lengkap, jelas dan kongkret. Kedua, dari aspek muatan materinya terkadang tidak relevan lagi dengan realitas sosial.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak, malah memperluas apa yang diatur dalam pasal 7 ayat (2) dengan mana diversi hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana dibawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan, diperluas dengan pidana penjara di atas 7 tahun atau lebih.
Pada prinsipnya siapa yang melakukan kesalahan dalam bentuk suatu tindak pidana, harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Hukum pidana adalah ultimum remidium yang berarti penghukuman adalah suatu upaya terakhir yang ditempuh bilamana tidak ada upaya lain untuk menyelesaikan perkara. Perbuatan si JAKA dapat dibuka kembali dengan delik aduan yang baru ataupun bisa juga perkara yang lama dibuka kembali dengan mengesampingkan Penetapan Diversi yang pernah dilakukan mengingat diversi merupakan tahap dimana belum pernah dilakukan pemeriksaan pokok perkara di tingkat pengadilan. Secara perdata pun, orang tua si BUNGA dapat melakukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi mengingat dalam hukum pidana, tidak mengatur tentang ganti rugi dan baru diatur dalam RUU KUHP yaitu dalam pasal 99.
Dalam hukum perdata ada satu asas bahwa apa yang telah disepakati merupakan undang-undang terhadap mereka yang melakukan kesepakatan itu (pacta sunservanda), sehingga apabila salah satu melakukan wanprestasi, maka dapat dimintakan ganti kerugian.
Pertanyaan apakah dalam penjatuhan hukuman, si JAKA juga bisa dikenakan pemberatan hukuman karena telah mengingkari kesepakatan diversi dilihat dari sisi pidana?
Beberapa teori penjatuhan pidana diantaranya ajaran Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien), Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien), Teori Gabungan / Modem ( Vereningings Theorien) tergantung dari sudut mana majelis hakim melihatnya dikaitkan dengan kualitas pidana yang dilakukan oleh terdakwa disertai bukti juga masalah keadilan baik kepada korban maupun kepada si pelaku.
Seharusnya dalam perbuatan suatu peraturan perundangan-undangan, tidak hanya melihat peristiwa yang terjadi saat ini saja tetapi juga seharusnya melihat segala kemungkinan yang akan terjadi dari kejadian itu.